Pengalaman saya melakukan traveling dan penelitian ke Perbatasan Entikong, yaitu perbatasan darat langsung antara Indonesia dan Malaysia, membawa saya dalam kegiatan serunya voluntourism. Seperti biasa, sebisa mungkin ketika saya traveling, saya akan melakukan kegiatan volunteer di daerah sekitar.
Volunteer kali ini saya ambil mengajar selama kurang lebih 1 bulan di beberapa dusun yang ada di perbatasan Entikong. Tempat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, memberikan pelajaran penting dalam hidup saya yaitu tentang BERBAGI.
AWAL MULA MENGAMBIL VOLUNTOURISM DI PERBATASAN ENTIKONG
Awal mulanya saya bisa melakukan voluntourism adalah, karena saya sempat melakukan penelitian untuk tesis saya di Entikong perbatasan Indonesia Malaysia ini. Menyelam sambil minum air. Selesai penelitian saya melakukan traveling ke beberapa destinasi wisata di kawasan perbatasan Entikong. Selesai melakukan traveling, baru saya melakukan voluntourism.
Saat penelitian, saya mengenal banyak warga dari berbagai kalangan di kawasan perbatasan ini, termasuk para guru. Saya kenal dengan kepala sekolah di salah satu sekolah di pedalaman yang ada di perbatasan Entikong. Setelah berdiskusi akhirnya saya berkesempatan untuk mengajar di 2 sekolah yang beliau pimpin. Saya dititipkan kepada salah satu guru yang mengajar di sana yang rumahnya tidak jauh dari rumah warga yang saya tempati. Jadi setiap pagi saya menumpang beliau untuk ke sekolah tempat saya mengajar. Thank to God, Tuhan memberikan kelancaran saya untuk melakukan voluntourism di perbatasan Entikong, yang merupakan batas negara Indonesia dan Malaysia ini.
AKSES MENUJU PERBATASAN ENTIKONG
Agustus 2018, saya berangkat menuju kawasan perbatasan Entikong dari Bandara Yogyakarta dan transit di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Kemudian dilanjutkan ke Bandara Supadio. Pontianak. Perjalanan dari Yogyakarta sampai ke Pontianak kurang lebih memakan waktu 6 jam. Yang harus diperhatikan adalah tidak setiap jam penerbangan tersedia menuju Bandara Supadio ini. Namun saat ini sudah tersedia penerbangan langsung dari Yogyakarta ke Pontianak 2x dalam sehari dan hanya dibutuhkan waktu sekitar 2-3 jam saja, tanpa harus transit.
![]() |
Kondisi jalan menuju perbatasan Entikong |
Eits, perjalanannya masih panjang loh. Kegiatan voluntourism ini penuh dengan petualangan. Dari Bandara Supadio, Pontianak saya masih harus ke terminal Damri kurang lebih 30 menit dari Bandara Supadio. Yap, untuk menuju kawasan perbatasan Entikong bisa ditempuh dengan bus besar Damri, milik pemerintah Indonesia, atau bus-bus pemerintah milik Malaysia dan Brunei Darussalam yang hanya ada 2x dalam sehari, yaitu pagi pukul 08.00 WIB dan pukul 08.00 WIB malam. Harga tiketnya waktu itu sekitar Rp. 160.000-, untuk 1 kali perjalanan sampai menuju kawasan perbatasan Entikong.
Perjalanan ditempuh sekitar 5-7 jam dari terminal Bus Damri menuju kawasan perbatasan Entikong. Dulu, katanya perjalanan bisa sampai 10-13 jam, karena kondisi jalan yang sangat rusak, sekarang sudah dibangun dengan jalan aspal yang sangat bagus.
SERUNYA VOLUNTOURISM DI PERBATASAN ENTIKONG
Hari pertama saya begitu menikmati perjalanan. Kami melewati hutan sawit yang luasnya ratusan bahkan ribuan hektar. Semua pemandangannya dikelilingi hutan hijau khas pulau Borneo. Langitnya cerah biru meski masih pagi.
![]() |
Salah satu jalan menuju perbatasan Entikong |
Namun udara panas sudah mulai terasa dari awal berangkat. Perbatasan Entikong ini kalau siang hari memang panasnya bisa mencapai 37 derajat, bisa dibayangkan panasnya seperti apa. Hal ini disebabkan karena Kalimantan Barat merupakan daerah di Indonesia yang paling panjang dilewati garis khatulistiwa. Kulit saya yang alergi panas, awal tinggal di tempat ini terus-terusan memerah dan terasa sekali terbakarnya. Selain itu panasnya juga membuat kepala saya pusing. Namun kondisi ini tak menyurutkan saya untuk tetap melakukan voluntourism di perbatasan Indonesia Malaysia ini.
Jalan yang saya lewati menuju sekolah, melewati jalan berbatu besar dan kecil yang masih terjal naik turun, kadang melewati jalan tanah yang kalau musim hujan motor yang saya tumpangi tidak bisa naik, karena tanahnya lengket ke ban motornya. Sehingga berkali-kali saya harus membantu mendorongnya. Sering juga saya harus berjalan kaki ratusan meter melewati tanah-tanah licin dan lengket itu.
![]() |
Salah satu jalur menuju sekolah, dalam proses pembangunan |
Belum lagi kondisi jalan naik turun. Melewati sungai-sungai kecil yang kalau pas hujan akan meluap. Sampai sepatu kesayangan saya rusak. Selama 1 bulan saya berkutat dengan kondisi jalan seperti ini. Di beberapa area memang dalam proses pembangunan aspal, tapi sebagian lagi ya memang jalannya seperti itu, belum tersentuh pembangunan. Belum lagi kalau kondisi hujan, bisa dibayangkan ya, udah becek, licin pula. Namun untungnya beberapa jalur jalan cukup lebar. Mungkin ini salah satu sebab kenapa lokasi ini masih jarang dikunjungi oleh para volunteer.
![]() |
Kondisi jalan menuju sekolah, masih jalan tanah |
Cuaca dan kondisi akses menuju sekolah tidak menyurutkan semangat saya untuk bertemu dan berbagi dengan anak-anak di pedalaman perbatasan. Fasilitas untuk proses belajar mengajar masih jauh dari sempurna dan layak. Saya semakin bersyukur karena dulu saya diberikan kesempatan untuk mendapatkan fasilitas sekolah yang sangat layak.
![]() |
Kondisi ruangan guru |
Di sisi lain saya sangat bahagia, sambutan murid-murid di sekolah ini begitu mengharukan. Saya melihat air muka mereka begitu nampak senang menyambut kedatangan saya. Mereka begitu antusias, menyambut kehadiran saya yang mereka sebut sebagai "ibu guru muda". Membuat saya semakin bersemangat menghabiskan waktu berbagi dengan mereka. Hari pertama, saya berbagi dengan anak-anak kelas 1 dan kelas 3. Tapi saya diperkenalkan juga dengan semua siswa dari Kelas 1 sampai Kelas 6.
Masih di hari pertama, jam pelajaran sudah selesai, waktunya pulang. Mereka antri satu persatu bersalaman dan mencium tangan saya. Mengingatkan saya sewaktu masih SD tentang apa itu sopan santun. Setelah keluar semuanya, saya menutup pintu kelas, saya kaget beberapa anak perempuan dan beberapa anak laki-laki yang mungil-mungil berkerumun dan berhamburan memeluk saya bersamaan di depan pintu.
"Besok ibu guru muda datang ke sini lagi kan?"
Tanya salah satu murid perempuan dengan logat khas melayunya dan masih belum saya ingat siapa namanya hari itu. Mereka memanggilku dengan sebutan ibu guru muda. Entah ide dari mana. Karena sewaktu di kelas mereka tidak memanggilku dengan nama itu.
"Ya dong, ibu guru muda besok ke sini lagi, kan mau ketemu lagi dengan adek-adek, kan kita besok mau menggambar lagi, jangan lupa PR-nya ya dikerjakan di rumah".
Jawabku sembari menjongkokkan tubuhku agar setara dengan anak-anak mungil ini dan mengingatkan mereka soal PR menggambar.
"Asiiiiik besok ibu guru muda ke sini lagi".
Teriak mereka dengan muka senang.
"Ibu guru muda akan lama kan di sini?"
Tukas anak lainnya dengan cepat.
"Mungkin, emang senang ya kalau ibu guru muda ke sini lagi?"
Tanya ku dengan penasaran sambil menatap satu-satu wajah anak-anak yang belum kuhapal kelas berapanya.
"Kami senang sekali ibu guru muda, kami bosan di sini tidak ada ibu guru, di sini tidak ada guru perempuan"
Jawab salah satu murid perempuan.
"Ya sudah sampai ketemu besok ya adek-adek, jangan lupa PR-nya dikerjakan ya".
Jawabku buru-buru, karena melihat guru yang saya tumpangi sudah melambai-lambaikan tangannya, tandanya sudah waktunya pulang.
"Ya ibu guru muda"
Jawabnya serentak.
Anak-anak itu terlihat bahagia dan lari berhamburan sambil meneriakkan nama ibu guru muda. Bahagia dan terharu bercampur aduk. Tak terasa air mata membasahi kelopak mataku. Saya merasa hidup saya sangat berharga hari itu. Merasa menjadi manusia yang sangat bermanfaat. Mungkin ini masih hal kecil, tapi membuat saya satu langkah merasa lebih bermanfaat untuk orang lain. Betul kata pepatah.
"Kita akan menjadi berharga saat berada di tempat yang tepat".
Setiap hari selama 1 bulan saya berkutat dengan anak-anak SD yang lucu-lucu ini. Saya mengajar di 2 sekolah yang berbeda dan jaraknya lumayan jauh. Hari Senin - Rabu saya mengajar di sekolah A dan hari Kamis - Sabtu saya mengajar di sekolah B. Saya berbagi ilmu dengan anak-anak dari mulai kelas I sampai kelas VI.
![]() |
Keterbatasan guru membuat kelas digabung dan ini kelas I dan kelas III |
Karena keterbatasan fasilitas dan guru, saya harus mengajar 2 tingkat di satu ruangan. Kelas I dengan kelas III. Kelas II dengan kelas IV dan Kelas V dengan kelas VI. Awalnya kewalahan, karena mereka pasti berisik dan agak sulit diatur, ya namanya juga anak-anak. Lama-lama saya terbiasa dan enjoy aja. Dan senyuman anak-anak di perbatasan Entikong ini membuat saya tidak merasakan lelah apapun.
Karena keterbatasan dalam beberapa hal, cara mengajar mereka tidak bisa disamakan dengan sekolah SD pada umumnya yang ada di Pulau Jawa. Sehingga setiap malam saya menyusun cara mengajar yang menyenangkan untuk esok harinya agar mereka tetap bersemangat untuk tetap belajar. Beberapa anak di kelas IV bahkan ada yang belum mengenal huruf abjad dan angka.
![]() |
Gambar milik Paler, siswa kelas 3 yang belum menghafal alfabet dan angka, tapi gambarnya selalu juara |
Namun anak ini sangat pintar menggambar. Semua gambarnya menggambarkan anak yang sangat imajinatif. Saya tidak mengukur kecerdasan seseorang dengan angka, namun saya harus tetap memutar otak agar anak ini bisa mengenal alfabet dan angka. Belum lagi kondisi anak lainnya yang sama uniknya. namun jadi tantangan tersendiri buat saya. Dan semakin menghargai peran guru itu sangat luar biasa. Tak ada kata atau apapun yang dapat dibandingkan dengan jasa-jasa mereka.
Selain membangun hubungan di kelas, kadang sepulang sekolah, sambil menunggu guru yang saya tumpangi selesai atau mengerjakan hal lain, saya juga bermain dengan anak-anak di perbatasan Indonesia Malaysia ini. Mereka mengajak saya bermain bola, bermain petak umpet, atau bermain galah di halaman sekolah, bahkan saya sering diajak memetik sayuran di kebun mereka. Atau diajak ke rumah mereka dan membakar ubi. Ah serunya.
Tak jarang juga saya mengobrol dengan orang tua mereka dan diajak ke hutan atau kebun milik mereka. Tak ayal sepulang sekolah saya sering diberikan oleh-oleh hasil kebun makanan dan minuman yang mereka beli dari Malaysia. Bukan sekali dua kali tapi hampir setiap hari. Saya akan pulang membuka sayuran, buah, atau minuman dari orang tua murid. Ketika di tempat lain saya melihat ada jarak antara guru dengan orang tua murid, di sini saya merasakan mereka begitu menghormati guru yang mengajar anak-anak mereka. Membuat saya terharu. Mereka sangat berterima kasih sekali karena sudah bersedia jauh-jauh dan ikhlas tanpa dibayar berbagi pengetahuan dengan anak-anak mereka. Sesederhana itu membuat orang lain bahagia.
Tibalah saatnya hari terakhir saya mengajar di tempat ini, saya merasa sedih sekali. Bagaimana tidak, 1 bulan saya bersama mereka, sudah seperti keluarga sendiri, kenal dekat dengan beberapa orangtua murid, ada ikatan batin yang tidak disengaja. Anak-anak ini sering kali bercerita soal mimpi-mimpi mereka kelak. Ada yang ingin menjadi guru, menjadi polisi, dokter, pilot, bahkan ada yang bermimpi kelak menjadi pemadam kebakaran. Sebuah mimpi-mimpi khas anak kecil.
Hari terakhir saya membagikan kenang-kenangan buku gambar lengkap dengan alat gambarnya. Hasil donasi dari teman saya juga. Anak-anak itu bahagia sekali mendapatkan buku gambar itu. Kami harus menangis ketika saya berpamitan, dan mereka meminta saya untuk bisa kembali ke tempat ini lagi suatu hari untuk bertemu mereka. Semoga Tuhan mengizinkan ya adek-adek, saya doakan semoga kelak semua mimpinya menjadi kenyataan, menjadi generasi muda yang mengharumkan bangsa Indonesia di kancah dunia. Kelak kalian yang akan memimpin bangsa ini.
Banyak pelajaran yang saya dapat dari kegiatan voluntourism di perbatasan Entikong, perbatasan Indonesia Malaysia ini. Terima kasih untuk semua guru di Desa Entikong. Terima kasih untuk semua warga di perbatasan Entikong, dan terima kasih untuk anak-anak cerdas yang sudah memberikan pelajaran berharga dalam hidup saya.